Polemik Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Berpengaruh”

15/02/2014
Indonesia (DwiNews) - Masuknya nama Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh sebagaimana yang dilansir dalam buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Berpengaruh” besutan Tim 8 yang diterbitkan Pusat Dokumentasi HB Jassin mengundang polemik berkepanjangan dalam dunia persilatan sastra tanah air belakangan ini. Memang Denny JA telah menerbitkan beberapa buku bergenre sastra fiksional, akan tetapi latar belakang profesinya sebagai konsultan politik serta pendiri PT. Lingkaran Survey Indonesia (PT LSI) menjadi perihal yang menggelisahkan kalangan pendekar sastra nusantara. Latar belakang inilah yang mengundang asumsi bahwa ada kepentingan “tertentu” di balik penempatan nama Denny JA.
     Bak air bah, kegelisahan tersebut mengemuka di pelbagai komunikasi sastra baik via online maupun "off air". Secara umum, banyak yang mempertanyakan latar belakang Tim 8 yang terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah menempatkan nama Denny JA. Genre puisi esai yang terdapat dalam karya-karya Denny JA menurut anggota Tim 8 yang notabene mayoritas merupakan dewan redaksi majalah sastra Horison merupakan faktor utama penyebabnya.

     Pun begitu, jawaban ini tidak serta merta memungkas kegelisahan pendekar-pendekar sastra di tanah air. Pledoi Tim 8 tersebut justru meninggikan kobaran api polemik dengan mengundang selaksa reaksi. Bahkan, reaksi keras muncul dari Saut Situmorang, seorang pendekar sastra dari Yogyakarta, yang mengibarkan petisi via online bernama change.org. Petisi ini secara gamblang menyampaikan permintaan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI untuk menunda atau pun agar sesegera mungkin menghentikan peredaran dalam buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Berpengaruh” terbitan Pusat Dokumentasi HB Jassin tersebut.

     Meskipun dalam dunia persilatan sastra di tanah air, penulis bukanlah seorang pendekar yang memiliki satu-dua jurus sastra penawan hati pembaca. Namun, sejak polemik ini bergulir (atau sengaja digulirkan), kegelisahan penulis bukan mengarah pada kedirian seorang Denny JA. Justru penulis sangat salut kepada Denny JA yang sudi-sedia menjadi martir dalam sebuah skenario besutan Tim 8. Penempatan nama Denny JA ini telah diprediksikan akan mengundang reaksi pendekar-pendekar sastra di tanah air. Tentu saja, merujuk pada latar belakangnya dan masa beredarnya yang relatif pendek.

     Telah kaprah dalam dunia sastra tanah air bahwa sepeninggal HB Jassin tidak ada figur sekampiun beliau yang mata pedang kritiknya dapat dimahfumi semua pendekar sastra dan pemerintah kita. Periodisasi perkembangan sastra tanah air gubahan HB Jassin hingga kini masih menjadi kitab suci pembelajaran sastra di sekolah-sekolah kita. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa tidak hanya beliau yang menggubah pembabakan sastra Indonesia dari masa ke masa. Masih ada nama Umar Junus, Ajip Rosyidi, Nugroho Notosusanto, maupun Pramudya Ananta Toer, yang menerbitkan gubahan periodisasi sastra. Akan tetapi, mengingat mata pedang mereka tidak setajam HB Jassin, maka nama-nama terakhir tetaplah tidak berhak menyandang nama Paus Sastra Indonesia.

     Dengan berlindung di balik Pusat Dokumentasi HB Jassin, bapak-ibu anggota dewan redaksi majalah Horison menerbitkan buku yang di dalamnya menyantumkan nama-nama tokoh sastrawan Indonesia update-an terbaru. Nama-nama ini dikondisikan akan diamini sebagai motor penggerak angkatan terkini. Ketika nama salah satu dari mereka beraroma kontroversi, maka besar kemungkinan akan reaksi. Ibarat buku ini adalah tesis, maka reaksi pendekar-pendekar sastra adalah antitesis. Di sinilah, sintesis akan adanya sebuah generasi (baca; angkatan) baru dalam periodisasi sastra di tanah air akan memwujud.

     Pembelotan Maman S. Mahayana yang menyeberang dengan melansir beberapa tulisan di media massa dengan aura ketidaktahuan-ketidakberterimaannya atas penempatan nama Denny JA dan atau status dan koment-koment Ahmadun Yosi Herfanda di jejaring sosial semakin menguatkan pendapat saya akan adanya skenario di balik penerbitan buku tersebut. Maman S. Mahayana melansir tulisan tentang suasana pengambilan keputusan di balik penerbitan buku tersebut. Bahkan di beberapa akhir tulisan-tulisannya, Maman S. Mahayana secara terang-terangan mengundang siapa saja untuk menghadirkan sosok yang lebih pantas untuk menjadi tokoh sastra Indonesia berpengaruh ketimbang Denny JA. Skenario untuk membuat sebuah penambahan generasi dalam periodisasi sastra di tanah air sedang berjalan.

     Saya jadi teringat guyonan di antara Gunawan Muhammad dan Sitor Situmorang sebelum menandatangani “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Menurut mereka kala itu, keberanian untuk ikut membubuhkan tanda tangan akan membuat nama mereka dicatat dalam sejarah. Hasilnya, nama mereka menjadi salah satu nama yang dikenal-dihafal anak-anak kita dalam pembelajaran sastra. Di sinilah, antara Gelanggang sebagai sebuah media sastra menemukan benang merahnya dengan Horison. Periodisasi sastra di tanah air sekali lagi dicoba-ciptakan melalui peran aktif media massa. Seramai apa pun polemiknya, ternyata hanya semata untuk kepentingan membuat sejarah. ***

  oleh :Anjrah Lelono Broto (KabarIndonesia.com)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Real DwiNews | Bloggerized by DwiNews - Premium Web News Themes | Best Web News Themes